Surat Tanpa Alamat Penerima

Kupikir surat ini wajib kutuliskan demi diriku. Juga demi menghapus kerisauan yang terus menghantui siang dan malamku. Ada begitu banyak suara yang ingin kusampaikan, tangisan yang ingin kutumpahkan juga ketakutan yang kuharap bisa diredakan. Namun entah kemana dan bagaimana. Maka, biar kutuliskan surat ini setidaknya untuk diriku sendiri.

Ternyata, sudah 18 tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Aku memang tidak pernah sengaja mengingatnya, tapi juga mustahil bagiku melupakannya. Kau adalah separuh bagian lain yang membuat duniaku sempurna. Seharusnya. Seandainya semesta tidak melemparkan humornya dan menjadikan entah siapa di antara kita sebagai leluconnya.

Di antara semua sisa kenanganmu tentangku, apakah hal yang paling melekat di ingatanmu? Mungkinkah sepiring sarapan yang kita habiskan berdua pagi itu? Meskipun hanya masakan sederhana yang dimasak dengan sedikit tergesa-gesa, aku sangat menikmati sarapan berdua denganmu. Ataukah ciumanku di punggung tanganmu setelah kau mengantarku? Aku berjalan di sampingmu sembari mendengarkan ceritamu tentang pohon-pohon yang sedang lebat-lebatnya berbuah di pekarangan rumah kita, lalu kau berkeluh tentang ikan-ikan yang sudah semakin jarang muncul di kali belakang dan kau tidak bisa lagi menghabiskan hari minggumu memancing di sana.

Sesaat kemudian kita tiba, kau memelukku, menyelipkan beberapa wanti-wanti serta ancaman kecil tentang bekal makan siang yang perlu kuhabiskan. Aku lekas mencium punggung tanganmu dan melangkah pergi. Masih ada sore nanti pikirku. Kau akan menjemputku dan sambil bergandengan tangan, aku akan mendengarkan lagi cerita-ceritamu yang seru.

Apakah itu kenangan terakhirmu tentangku? Ataukah yang lainnya?

Tentu saja aku ingat. Setiap cerita, setiap kata. Tentu saja aku tidak akan pernah lupa. Karena kenangan-kenangan itu yang selama ini membantuku tetap dekat denganmu. Kenangan-kenangan itu yang membuatmu tetap hidup di kepalaku; bahwa kau memang nyata dan bukanlah ilusi semata. Kenangan yang tetap membuat dirimu tetaplah dirimu dalam kehidupanku. Cinta pertamaku.

Kau tahu, aku selalu percaya bahwa kau tidak benar-benar ingin pergi meninggalkanku. Kepalaku merawat keyakinan tentangmu. Mungkin kau hanya sedang rindu kampung halamanmu dan kau ingin menenangkan diri di sana memandangi pantai-pantai luas dan lautan yang terhampar tak berbatas. Aku percaya kau pergi bukan karena kau ingin berpisah denganku, dengan separuh cinta dan kehidupan yang menyempurnakanmu, kan?

Dan kau tahu, ketika mereka memaksaku untuk menyerah terhadapmu, kututup mata dan telingaku dan kubiarkan mereka terus mengoceh di balik punggungku. Bagiku, mereka hanya manusia-manusia yang tidak berpengharapan.

Kini, 18 tahun sudah waktu berlalu tanpa ada sedikit pun kabar darimu, tanpa satu pun perjumpaan denganmu. 18 tahun dalam penantian dan ketidakpastian. Tahun-tahun penuh keresahan dan kegelisahan ketika hampir setiap malam banyak pertanyaan bermunculan. Pertanyaan-pertanyaan tentang apa dan mengapa; pertanyaan-pertanyaan yang ingin lekas kuajukan padamu. Jangan tanyakan kabar-kabar selepas kepergianmu, karena ada beribu kabar yang ingin kuceritakan kepadamu. Kabar tentangku, kabar tentang ibuku, kabar tentang adikku juga kabar-kabar tentang kita. Tidakkah kau rindu? Tidakkah kau ingin mendengar ceritaku?

Kepergianmu yang tiba-tiba adalah sebuah petaka paling besar yang pernah kualami. Tidak ada seorangpun di antara kami yang siap. Tidak ada yang pernah. Apakah pernah ada seseorang yang siap untuk sebuah kehilangan? Aku yakin tidak. Apalagi untuk sebuah kehilangan yang tiba-tiba. Begitu pun aku, begitu pun kami. Tidak ada satu hal pun yang mudah setelahnya, tapi kehidupan harus terus dilanjutkan dan kami harus terus berjuang meskipun dengan tubuh separuh pincang dan pikiran separuh hilang.

Kini, 18 tahun sudah berlalu. Ada jutaan hal yang telah terjadi dalam kehidupanku dan hanya ada satu hal yang tidak pernah lagi terjadi dalam kehidupanku: kehadiranmu. Satu hal yang tidak bisa kudapatkan darimu, tidak dari keluargamu, tidak dari saudaramu, tidak juga dari teman-temanmu.

Kemari dan tengoklah aku. Perempuan ini bukan lagi anak kecil aleman yang merepotkan dan penuh rengekan. Kau tidak perlu lagi mengantar dan menggenggam tanganku sepanjang jalan, aku sudah lihai berjalan jauh dengan kaki-kaki yang tangguh. Kau tidak perlu lagi menungguiku menghabiskan sarapan, kau boleh pesan apapun yang kau mau dan biar aku yang siapkan. Kau hanya perlu duduk di hadapanku lalu kita berbicara panjang hingga bermalam-malam, sebagai dua orang dewasa, sebagai dua kawan lama, sebagai orang tua dan anak yang saling merindu.

Tidakkah kau rindu bagaimana perempuan kecilmu itu kini?

Kemari dan duduklah di hadapanku. Biar aku mengecap aromamu yang asing, biar aku kembali mengakrabi sosokmu yang samar, biar aku bisa memangkas jarak dan waktu-waktu yang hilang. Kemari dan duduklah di hadapanku, mari kita bertukar cerita.

Bila kau ingin, aku bisa menceritakan seluruh kehidupanku dari sejak kepergianmu, apa yang kulalui, apa yang kutemui, apa yang kualami. Bila kau enggan, aku bisa diam dan aku akan dengan senang hati mendengar seluruh ceritamu, setiap kisahmu. Biar aku menyimak petualanganmu di luar sana. Maka ceritakan padaku tentang kampung halaman tempatmu dilahirkan dan tumbuh besar, tentang batu-batu besar di tepi pantai, dan tentang lautan banglas kebiruan. Ceritakan segala apapun tentangmu.

Jika kau tidak ingin menemuiku, bisakah setidaknya aku mengirimimu surat? Meskipun aku tidak tahu apa yang hendak kutuliskan di dalam surat-suratku kelak. Mungkin surat-suratku berupa daftar pertanyaan, mungkin sekadar basa-basi soal kerajinan tanganku dan soal musim yang kian kaku. Atau mungkin, aku sama sekali tidak mampu menuliskan apa-apa di dalamnya. Aku benar-benar tidak tahu.

Setidaknya, biar aku memugar ingatan antara kita dengan berbagai cara yang aku pahami; dengan berjalan jauh, menunduk khidmat, atau mungkin sekadar lewat berpuisi. Omong-omong, boleh aku titip satu saja puisiku* untukmu dalam surat ini ya? Ini satu karyaku yang paling kusukai:

Sudah ia tebar abu kehilangan: 
Mimpi-mimpi pecah
Wajahmu dalam toples kaca
  mabuk dalam alkohol 75%
Dan separuh ingatannya yang tercecer
  di balik jendela rumahnya
Agar ia bisa kembali pulang

Semoga bisa menjadi anasir yang akan menuntunmu keluar dari lorong kosmis yang lian.

***

Aku tak berharap surat ini kan berbalas. Aku hanya berharap surat ini dapat kau terima. Namun ibuku tidak demikian. Ia menulis beribu-ribu surat, ia mengirim beribu-ribu surat. Tapi kini, ibu sudah berhenti menulis surat, mungkin karena tidak berbalas. Tak jelas juga sampai atau tidak. Mungkin hilang di antara ratus kilo jarak yang ada. Tak jelas juga ada di mana.

Mungkin ini risiko berkorespondensi dengan orang yang antara ada dan tiada. Ada tapi meniadakan, atau benar sudah tiada. Gelap.

Tak ada lagi yang tersisa selain harap yang perlahan terkikis langis tergilas oleh aliran waktu yang kian beringas. Kurasa harapan dan permohonan menjadi komoditi yang semakin tak terjangkau oleh kami.

Namun, bila aku boleh memohon, datanglah sekali saja, temui aku sehari saja. Ceritakan padaku tentang banyak hal, tentang waktu-waktu yang kau habiskan di negeri jauh atau tentang setiap sudut kampung halamanmu. Kudengar kampung halamanmu menyimpan sederet dumbo yang tak terpermanai jumlahnya, benarkah? Aku harap, kau berkenan temani aku tidur dan antarkan aku ke dalam buaian mimpi dengan kayat-kayat yang indah dan asing itu. Sangat melegakan sepertinya. Biar itu jadi sambutan perjumpaan kembali, atau mungkin kado perpisahan kita. Aku tetap akan menerimanya.

Jika ada satu hal yang sangat ingin kulakukan ketika bertemu lagi denganmu, maka itu adalah untuk mengajukan satu-satunya pertanyaan itu padamu. Biar pun aku tidak tahu bagaimana caranya mengajukan pertanyaan itu, tapi kurasa aku perlu menanyakannya untuk diriku sendiri. Juga demi menghapus kerisauan yang terus menghantui siang dan malamku. Maka untuk sekarang, biar kutuliskan pertanyaan itu dalam surat ini. Biar kutuliskan pertanyaan itu untuk diriku sendiri. Meskipun pada akhirnya hanya akan kukirim ke entah.

Tapi, Tuhan tak pernah salah alamat, kan. Kutitipkan rindu ini padaMu ya Allah, semoga sampai ke hatinya.


*Puisi merupakan karya Vellamo Kari di media tumblr.


Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.